Thursday, 18 June 2009

Aceh, SBY atau JK? Oleh Rustam Effendi

KOLOMNIS Kompas, Sindhunata, mengungkapkan keprihatinannya atas berpisahnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla (JK) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Juli 2009 mendatang. Dalam catatan sepakbolanya yang berjudul “Bahaya Konservatisme” itu, Sindhunata, memaparkan betapa SBY-JK sebenarnya telah meletakkan landasan pembangunan yang benar dan tepat dalam proses pembangunan selama lima tahun ini (2004-2009). Namun apa dikata, harapan itu sirna, SBY dan JK tak lagi dalam satu perahu pada Pilpres kali ini.

Keputusan SBY dan JK yang tak lagi sekubuh itu yang disayangkan banyak pihak. Sindhunata, menguraikan keprihatinannya lewat filosofis sepakbola. Khususnya sepakbola di Eropa, telah mengalami perubahan cepat, tidak bergaya konservatif tapi semakin inovatif dan ofensif. “Siapa yang berani menyerang, merekalah yang akan menang,” tulis Sindhunata. Tidaklah heran, jika ada pelatih yang harus terdepak akibat ketidak-mampuannya melakukan pembaruan gaya bermain tim asuhannya.

Inovasi kian nyata. Seperti kita menyaksikan kemenangan FC Barcelona (Barca) atas Manchester United (MU) difinal Liga Champions beberapa pekan lalu. Barca telah melakukan inovasi dan reformasi pada saat yang tepat, tidak menganut pola konservatif dengan bermain defensif, tetapi menyerang. Barca menggebrak penuh atraktif, dan pelatih Guardiola mengomandoi anak asuhannya dengan pola menyerang menghancurkan pertahanan MU. Hasilnya, pemain MU yang diasuh manajer tim, Sir Alex Ferguson itu, dibuat mati kutu. Lionel Messi, dengan postur 170 cm itu meliuk-liuk penuh impresif, menjelajahi hampir setiap sudut lapangan, membikin pemain lini belakang MU ketar-ketir dan habis akal. Cristiano Ronaldo (CR7) yang menjadi andalan Sir, tak dapat berbuat banyak. Permainan CR7 seakan mencapai antiklimaksnya, perannya sebagai inspirator tim tak terlihat sama sekali. Nyata benar, raut wajah CR7 kuyu sepanjang permainan. Pemain yang baru dibeli oleh Presiden Real Madrid, Florentino Perez, senilai 93 juta euro (Rp 1,3 triliun) ini tidak mampu memperlihatkan keahliannya mendribble dan mengocek bola. Dan MU bertekuk lutut di hadapan Barcelona. Guardiola, sang pelatih Barca yang sebelumnya dipandang sebelah mata oleh banyak pemerhati, benar-benar menjadi orang yang paling berbahagia. Dalam usianya yang relatif muda (38 tahun), ia telah membuat sejarah. Sebagai pelatih, Guardiola memahami benar tentang “defining moment”.

Defining moment, seperti sebut Sindhunata, sepatutnya dipahami oleh semua pihak secara jernih. Siapapun kita, dari golongan apa pun, dan kelas sosial serta gelar apa pun yang disandang, dapat mengartikan kedudukan, peran, dan tindakan yang harus diperbuat secara cerdas. Kemampuan ini menjadi super penting manakala kita memasuki era seperti masa “krisis” sekarang ini. Masa krisis menghendaki semua komponen bangsa untuk berpikir dan bertindak lebih rasional, taktis, dan “sinerjis”.

Nyatanya, tidaklah mudah mewujudkan harapan ideal itu. Dalam banyak pengalaman, seringkali kebersamaan harus berujung dengan keberpisahan. Kendati awalnya semua dirajut secara bersama dengan memikul segala penderitaan dan pengorbanan. Namun seringkali rajutan itu terburai, sirna dan tak berbekas ketika berada di ujung perjalanan. Begitu mudahnya tercerabut kebersamaan itu, dan akibatnya, langkah-langkah inovasi dan pembaruan tak berlanjut. Perilaku semacam ini semakin lazim ditemui di seputar kehidupan kita.

Dalam ranah politik, misalnya, nilai-nilai kebersamaan dan pengorbanan seringkali tergerus dibawa arus ketika dihadapkan pada kepentingan partai, atau kelompok. Tidak ada lagi kearifan dan kebijaksanaan. Semuanya terkalahkan oleh yang namanya “kepentingan”. Manuver-manuver yang dipertontonkan selalu bermuara pada satu titik, yaitu “kekuasaan”. Tidak usah heran, jika defining moment tergantung pada siapa yang mengartikannya. Semuanya sangat ditentukan oleh sikon (situasi dan kondisi). Boleh jadi, suatu waktu prinsip yang diusung adalah “bersama kita bisa”. Tetapi jangan salah, di lain waktu prinsip itu juga dapat berubah, “tanpa” bersama pun kita bisa. Bahkan, mungkin lebih bisa, lebih cepat, dan lebih baik.

Pasangan ideal
Bagi masyarakat Aceh, SBY-JK sebenarnya pasangan yang paling ideal. Di mata orang Aceh, keduanya ibarat dua sisi mata uang, karena dua tokoh yang sangat berjasa dalam menghadirkan perdamaian di Aceh. Rasanya sulit Aceh bisa sedamai dan setenang sekarang ini, jika Presidennya bukan SBY atau Wapresnya bukan JK.

Masyarakat Aceh mengetahui benar peran besar Wapres JK dalam menata langkah awal menuju proses negosiasi antara pihak-pihak yang bertikai (Pemerintah RI dan GAM). Dalam banyak publikasi, betapa besar upaya JK dalam menghentikan pertikaian dan melepaskan daerah ini dari lilitan dan cengkeraman konflik. Konflik yang sekian lama sulit ditengahi dan telah menelan banyak korban, tapi dapat terselesaikan lewat andil JK. Masyarakat Aceh tentu tidak akan melupakan jasa dan ketulusan JK. Tentu, semua langkah dan upaya JK tidan berjalan mulus jika tanpa direstui SBY selaku Presiden.

Di mata masyarakat Aceh, SBY pun dikenal sebagai pemimpin yang begitu berempati. Setidaknya itu terpantau dari kerelaannya mendukung setiap proses yang menuntun Aceh menuju kedamaian. Sudah empat presiden yang memimpin Tanah Air ini (tidak termasuk Soekarno), tapi tidak satupun yang mampu meredakan gejolak politik (konflik). Baru di tangan SBY, rakyat Aceh dapat menikmati kedamaian dan merasakan ketenangan hidup.

Pascabencana tsunami, sebelum tercapainya MoU Helsinki, perhatian Sang Presiden terhadap Nanggroe ini pun begitu besar. Semua orang Aceh tahu, bagaimana SBY rela bermalam di daerah ini kala itu, agar beliau ikut merasakan penderitaan yang dialami para pengungsi korban tsunami. Hal yang sama juga dilakukannya di Yogyakarta yang juga terkena bencana gempa. Tidak banyak pemimpin seperti SBY, yang memiliki rasa empati. Maka ketika keduanya tidak lagi bersama dalam Pilpres kali ini, masyarakat Aceh akan dihadapkan pada situasi yang sulit. Ibarat buah simalakama, dimakan mati ayah, tidak dimakan mati ibu.

Bagi masyarakat Aceh, SBY dan JK merupakan orang-orang yang memiliki karakter kepemimpinan yang “terbaik” dan tepat untuk Nanggroe ini. Keduanya terbukti telah berbuat banyak dan amat berjasa bagi provinsi ini. Keduanya telah mengartikulasi secara cerdas defining moment dengan menggagas dan mewujudkan perdamaian di Serambi Mekkah ini. Tapi apa hendak dikata, kini hanya tinggal sebatas angan-angan belaka. SBY dan JK tak lagi bersama. Sayangnya pula, kita hanya dibolehkan memilih seorang Presiden dalam Pilpres nanti, tidak boleh lebih. Lalu, siapa calon Presiden yang pantas dipilih oleh masyarakat Aceh, apakah SBY atau JK?

* Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Program Magister Ilmu Ekonomi Unsyiah


Klik Duit Untuk Anda


Domain free Anda



No comments:

Post a Comment