Friday, 26 June 2009

Pilpres dan Jasa Perdamaian Aceh

Kompas, Jumat, 26 Juni 2009 | 03:22 WIB

Teuku Kemal Fasya

Saat berkampanye di Aceh, Jusuf Kalla mengatakan, perdamaian Aceh adalah bagian dari prestasinya.

JK mengingatkan, hanya dirinya yang berani membubuhkan tanda tangan pada draf partai lokal dalam konsiderans Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki. Saat itu banyak elite nasional mengecamnya karena dianggap mengarah kepada ”sebatang rokok lagi” menuju kemerdekaan Aceh.

Komentar JK melahirkan reaksi dari kubu Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Hatta Rajasa membantah SBY tidak apresiatif terhadap perdamaian Aceh. Buktinya, pemerintah telah mengadopsi prinsip-prinsip perdamaian Helsinki ke dalam undang-undang pemerintahan Aceh dan peraturan pemerintah tentang partai lokal (kompas. com, 14/6).

Sejarah perdamaian

Beberapa dokumen menyebutkan, rintisan perdamaian Aceh telah dimulai sebelum bencana tsunami. Farid Husain, salah seorang tim pelobi, menyebutkan dalam memoarnya, To See the Unseen: Kisah di Balik Damai Aceh (2007), rapat-rapat partikelir telah dilakukan antara pihak Indonesia dan GAM pada masa darurat sipil. Diskusi dilakukan di beberapa tempat, seperti di restoran Aceh; daerah Benhil, Jakarta; di tengah hutan belantara Aceh Utara; Singapura; hingga Swedia.

Tsunami meningkatkan level perundingan sekaligus melibatkan pihak asing sebagai mediator. Dialog enam babak dimulai sejak musim dingin (27-29 Januari 2005) hingga musim panas (15 Agustus 2005) di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Disponsori Crisis Management Initiative, dengan peran Martti Ahtisaari sebagai motornya dan lobi seorang intelektual-pengusaha asal Finlandia yang telah dipercayai GAM, Juha Christensen.

MoU Helsinki adalah berkah perdamaian terbaik bagi Aceh karena telah bertahan hampir empat tahun. Bandingkan dengan tiga kesepakatan sebelumnya: Jeda Kemanusiaan (2000), Moratorium Kekerasan (2001), dan Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) atau Kesepakatan Penghentian Permusuhan (2002). Semuanya gagal berumur lebih dari enam bulan.

Prinsip-prinsip dalam CoHA banyak diadopsi dalam MoU Helsinki. Namun, prinsip seperti soal keamanan, bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan civilian reform gagal efektif. Salah satunya karena sering muncul perdebatan di media tentang pelanggaran masing-masing pihak. SBY (saat itu Menko Polkam) menuding GAM tidak fair menjalankan CoHA sehingga mengarah pada krisis keselamatan negara. Pemerintah juga siap mengambil langkah tegas untuk menghentikan CoHA (Kompas, 8/5/2003). Langkah tegas itulah yang diartikan sebagai operasi militer terpadu yang menjadi prahara kemanusiaan terburuk pascadaerah operasi militer (DOM).

Pada perjanjian Helsinki, presiden SBY sempat menolak kehadiran Partai GAM (sebelum diubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri, terakhir disetujui bernama Partai Aceh). Menurut dia, pembentukan partai lokal dari kelompok separatis tidak sesuai dengan semangat rekonsiliasi, persatuan, melupakan luka-luka lama, dan kembali ke Negara Kesatuan RI (Antara, 10/7/2007). Tak heran JK memiliki interpretasi hadirnya perdamaian di Aceh, terutama partai lokal, adalah hasil keberaniannya.

Komposisi tim yang merintis dialog Helsinki adalah all the Vice President’s Men atau disebut the Finland-Sulawesi connection. JK memang lebih aktif. Mereka yang dipercaya sebagai delegasi adalah Farid Husain (Deputi Menko Kesra) dan Hamid Awaluddin (mantan Menteri Hukum dan HAM), ditambah seorang menteri dari Aceh, Sofjan Djalil (Aboeprijadi Santoso, Dari Vila Vantaa ke Mabes Cilangkap, 2005).

Bersikap kritis

Tidak seperti daerah lain yang relatif bersih dari pengalaman traumatis, bagi Aceh, pemilu presiden kali ini jelas bertambang sejarah ingatan, terutama terkait militerisme. Untuk itu, mungkin Mega-Pro berpeluang kecil merebut suara di Aceh karena Megawati menyetujui proposal darurat militer (19 Mei 2003).

Sisa perebutan tinggal antara SBY-Boedi dan JK-Win. Jika dilihat peran aktif perdamaian, JK lebih unggul (meski tanpa partisipasi elemen sipil Aceh perdamaian juga utopia), tetapi keputusan akhir negara tetap di tangan SBY sebagai presiden. Kemungkinan ini menyebabkan JK tidak akan sendirian melenggang memperebutkan suara Aceh.

Ada dilema pada track record cawapres Wiranto. Sebagai jenderal reformis, ia di persimpangan. Pada masanya status DOM dicabut (7/8/1998). Wiranto juga meminta maaf atas sikap kasar ABRI terhadap rakyat Aceh. Namun ia tidak mengakui ada ladang pembantaian (killing fields) ala Kamboja yang dilakukan sistematis oleh institusi militer.

Itulah palu sejarah, penuh interpretasi dan ketidaksempurnaan. Meski demikian, rakyat Aceh harus bersikap sempurna: memilih pemimpin yang tidak ragu- ragu melanjutkan ide perdamaian, keadilan, dan demokrasi seperti sedang berlangsung di bumi Chik Di Tiro selama ini.

Teuku Kemal Fasya Dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe


Klik Duit Untuk Anda


Domain free Anda



No comments:

Post a Comment